Sabtu, 06 Juni 2009

Kajian empat aliran teori belajar

  1. Aliran behavioristik (tingkah laku)

Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku, tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari intaraksi antara stimulus dan respon. Atau dengan kata lain: belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Para ahli yang paling banyak berkarya dalam a;iran ini adalah: Thorndike, (1911); Waston, (1963); Hull (1943); dan Skinner (1968).

(1.1) Throndike

Menurut Throndike (1911), salah seorang pendiiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara stimulus(yang berupa pikiran, perasaan atau gerakan). Dan respon (yang juga berupa pikiran, perasaan atau gerakan). Jelasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku itu boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang non-konkret (tidak bisa diamati).

Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaiman caranya mengukur berbagai tingkah laku yang non-konkret itu (pengukuran adalahsuatu hal yang menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku), tetapi teori Thorndike ini telah banyak memberikan inspirasi pakar lain yang datang sesudahnya. Teori Thorndike ini juga disebut sebagai “aliran koneksionis” (Connectionism).

Eksperimen yang dila kukan Thorndike melalui kurungan teka-teki. Prosedur eksperimennya ialah membuat agar setiap binatang lepas dari kurungannya sampai ke tempat makanan. Dalam hal ini apabila binatang itu terkurung, maka binatang itu sering malakukan bermacam-macam kelakuan, seperti menggigit, menggosokkan badannya ke sisi kotak, dan cepat atau lambat binatang itu tersandung pada palang sehingga kotak terbuka dan binatang itu akan lepas ke tempat makanan.

(1.2) Watson

Berbeda dengan Thorndike, menurut Watson pelopor lain yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respon tersebut harus berbentuk tingkah laku yang “bisa diamati” (Observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan penganggapannya sebagai faktor yang tek perlu diketahui. Bukan berarti semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting. Tapi faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.

Hanya dengan asumsi demikianlah, menurut Watson, dapat diramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa. Dan hanya dengan demikinlah psikologi dan ilmu tentang belajar dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik.

Berdasarkan uraian ini, penganut aliran tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa semua hal itu penting. Tiga pakar lain adalah Clark Hull, Edwin Guthrie dan B.F Skinner. Seperti kedua pakar terdahulu, ketiga orang yang terakhir ini juga menggunakan variabel Stimulus-Respon untuk menjelaskan teorri-teori mereka. Namun, meskipun ketiga pakar ini mendapat julukan yang sama , yaitu pendiri aliran tinggkah laku (Neo Behaviorist), mereka berbeda satu sama lain dalam hal beberapa materi seperti diuraikan sebagai berikut ini.

(1.3) Clark Hull

Clark Hull (1943) mengemukakan konsep pokok teorinya yanng sangat dipengaruhi oleh teori evousinya Charles Darwin. Bagi Hull, tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup. Karena itu, dalam teori Hull, kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis menempati posisi sentral. Menurut Hull (1943, 1952), kebutuhan dikonsepkan sebagai dorongan (drive), seperti lapar, haus, tidur, hilangnya rasa nyeri, dan sebagainya. Stimulus hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis ini, meskipun respon mungkin bermacam-macam bentuknya.

Teori ini, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya, ternyata tidak banyak dipakai dalam dunia praktis, meskipun sering digunakan dalam bebrbagai eksperimen di laboratorium.

(1.4) Edwin Guthrie

Edwin Guthrie menggunkan teori kontiguiti yang memandang bahwa belajar merupakan kaitan asosiatif antara stimulus dan respons tertentu. Selanjutnya Edwin Guthrie berpendirian bahwa hubungan antara stimulus dengan respons merupakan faktor kritis dalam belajar. Karena itu, diperlukan pemberian stimulus yang sering agar hubungan itu menjadi lebih langgeng. Selain itu, satu respon akan lebih kuat (dan bahkan menjadi kebiasaan) bila respon tersebut berhubungan dengan berbagai macam stimulus. Sebagai contoh, seorang yang memiliki kebiasaan merokok sulit di tinggalkan. Hal ini dapat terjadi karena perbuatan merokok tidak hanya berhubungan dengan satu macam stimulus (misalnya kenikmatan merokok), tetapi juga dengan stimulus-stimulus ain seperti minum kopi, berkumpul dengan teman-teman, ingin nampak gagah, dan lain-lain.

Guthrie juga mengemukakan bahwa “hukuman” memegang peranan penting dalam proses belajar. Meurutnya suatu hukuman yang diberikan pada saat yang tepat, akan mampu merubah kebiasaan seseorang. Sebagai contoh seorang anak perempuan yang setiap kali pulang dari sekolah, selalu mencampakkan baju dan topinya di lantai. Kemudian ibunya menyuruh agar baju dan topi dipakai kembali oleh anaknya, lalu kembali ke luar, dan masuk rumah kembali sambil menggantungkan topi dan bajunyadi tempat gantungannya. Setelah beberapa kali melakukan hal itu, respon menggantungkan topi dan baju menjadi terasosiasi dengan stimulus memasuki rumah. Meskipun demikian nantinya faktor hukuman ini tak lagi dominan dalam teori-teori tingkah laku. Terutama setelah Skinner mempopulerkan ide tentang “penguatan” (reinforcement).

(1.5) Skinner

Skinner (1968) yang datang kemudian merupakan penganut paham neobehavioris yang mengalihkan dari laboratorium ke praktek kelas. Skinner mempunyai pendapat lain lagi, yang ternyata mampu mengalahkan pamor teori-teori Hull dan Guthrie. Hal ini mungkin karena kemampuan Skinner dalam “menyederhanakaan” kerumitan teorinya serta menjelaskan konsep-konsep yang ada dalam teorinya itu. Menurut Skinner, deskripsi hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watso tersebut diatas adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respon yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan lainnya. Dan interaksi ini akhirnya mempengaruhi respon yang dihasilkan itu. Sedangkan respon yang diberikan ini juga menghasilkan berbagai konsekwensi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkah laku siswa.

Karena itu, untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, diperlukan pemahaman terhadap respon tiu sendiri, dan berbagai konsekwensi yang akibatnya oleh respon tersebut. Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuatunya menjadi bertambah rumit, sebab “alat” itu juga akhirnya harus dijelaskan lagi. Misalnya, bila dikatakan bahwa “seorang siswa berprestsi buruk sebab siswa ini mengalami frustasi” akan menuntut perlu dijelaskan “apa itu frustasi”. Dan penjelasan tentang frustasi ini besar kemungkinan akan memerlukan penjelasan lain. Begitu sterusnya.

Dari semua pendukung teori tingkah laku, mungkin teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnhya terhadap perkembangan teori belajar. Beberapa program pembelajaran seperti “Teaching Machine”, “Mathetics” atau program-program lain yang memakai konsep stimulus, respon dan faktor penguat (reinforcement), adalah contoh-contoh program yang memanfaatkan teori Skinner ini.

2. Aliran Kognitif

Teori belajar kognitif merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar daari pada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks.teori ini sangat erat berhbungan dengan teori sibernetik.

Pada masa-masa awal mulai dioperkenalkannya teori ini, para ahli mencoba menjelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus dan bagaiman siswa tersebut bisa sampai ke respon tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat di sini). Namun, lambat laun, perhatian ini mulai bergeser. Saat ini perhatian mereka terpusat pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya telah dikuasai oleh siswa.

Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proes ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tetapi melalui proses yang mengalir, bersambung-ambung menyeluruh. Ibarat seseorang yang memainkan musik, orang ini tidak “memahami” not-not balik yang terpampang di partitur sebagai informasi yang saling lepas berdiri sendiri, tapi sebagai suatu kesatuan yang secara utuh masuk ke pikiran dan perasaanya. Seperti juga ketika anda membaca tulisan ini, bukan alfabet-alfabet yang terpisah-pisah yang dapat diserap dan dikunyah dalam pikiran, tapi adalah kata, kalimat, paragraf yang kesemuanya itu seolah jadi satu, mengalir, menyerbu secara total bersamaan. Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam “tahap-tahap perkembangan” yang diusulkan oleh Jean Piaget, “belajar bermakna “-nya Ausubel, dan “belajar penemuan secara bebas” (free discovery learning) oleh Jerome Bruner.

(2.1) Piaget

Menurut Jean Piaget (1975) salah seorang penganut aliran kognitiif yang kuat, bahwa proses belajar yang sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yakni (1) asimilasi, (2) akomodasi dan (3) equilibrasi (penyeimbangan). Proses asimilasi adalah proses penyatuan (peng-integrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak siswa. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif ke dalam situasi yang baru. Equilibirasi adalah penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.

Bagi seseorang yang sudah mengetahui prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada di benak sisiwa) dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru), inilah yang di sebut proses asimilasi. Jika seseorang diberi soal perkalian, maka situasi ini disebut akomodasi, yang dalam hal ini berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang baru dan spesifik. Agar seseorang tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan menjaga stabilitas mental dalam dirinya, diperlukan proses penyeimbangan. Proses inilah yang disebut dengan equilibirasi-proses penyeimbangan antara “dunia luar” dan “dunia dalam”. Tanpa proses ini,perkembangan kognitif seseorang akan tersendat-sendat dan berjalan tak teratur (disorganized).

Dalam hal ini, dua orang yang mempunyai jumlah informasi yang sama di otaknya mungkin mempunyai kemampuan equilibirasi yang berbeda.seseorang dengan kemapuan equilibirasi yang baik akan mampu “menata” berbagai informasi ini dalam urutan yang baik, jernih, logis. Sedangkan rekannya yang tidak mempunyai kemampuan equilibirasi sebai itu akan cenderung menyimpan semua informasi yang ada secara kurang teratur, karena itu orang ini juga cenderung mempunyai alur baerpikir yang ruwet, tidak logis, berbelit-belit.

Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangankognitif yang dilalui siswa, yaang dalm hal ini piaget membaginya dalam empat tahap, yaitu tahap sensori-motor (ketika anaka berumur 1,5 sampai 2 tahun), tahap pra-operasional (2-7 tahun atau 3-3 tahun), tahap operasional konkret (7-12 tahun atau 8-14 tahu) dan tahap operasional formal (14 tahun atau lebih).

Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensori motor tentu lsin dengan yang dialami seoarang anak yang sudah mencapai tahap ke dua (pra-opersional) dan lain lagi yang dialami siswa lain yang dudah mencapai tahap yang lebih tinggi. Secara umum, semakin tingkat kognitif seseorang semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berpikirnya. Dalam kaitan ini seorang guru seyogyanya memahami tahap-tahap perkembangan anak didiknya, serta memberikan materi pelajaran dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.

Guru yang mengajar tetapi tidak menghiraukan tahaap-tahap ini akan cenderung menyulitkan para siswanya. Misalnya saja, mengajarkan konsep-konsep abstrak tentang matematika kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk”meng-konkretkan” konsep-konsep tersebut, tidak hanya akan lebih membingungkan para siswa itu.

(2.2) Ausubel

Menurut Ausubel (1968), siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut “pengatur kemajuan (belajar)” (advance organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang mewadahai (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.

Ausubel percaya bahwa “advance organizers” dapatt memberikan tiga maccam manfaat, yakni:

- dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa;

- dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan anatara apa yang sedang dipelajari siswa “saat ini” dengan apa yang “akan” dipelajari siswa; sedemikian rupa sehingga

- mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.

Untuk itu, pengetahuan guru terhadap isi mata pelajaran harus sangat baik. Hanya dengan demikian seorang guru mampu menemukan informasi, yang menurut Ausubel sangat abstrak, umum dan inklusif, yang mewadahi apa yang diajarkan itu.selain itu, logika berpikir guru juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika berpikir yang baik, maka guru akan kesulitan memilah-milah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi materi itu kedalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami.

(2.3) Bruner

Bruner (1960) mengusulkan teorinya yang disebut “free discovery learning”. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) urutan yang menjadi sumbernya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep kejujuran misalnya, siswa tidak pertama-tama menghafal definisi kata itu, tetapi mempelajari contoh konkret tentang kejujuran, dan dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata “kejujuran”.

Lawan dari pendekatan ini disebut “belajar ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh-contoh khusus dan konkrit. Dalam contoh diatas, maka siswa pertama-tama diberi definisi tentang kejujuran dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mencari contoh-contoh konkrit yang dapat menggambarkan kata tersebut. Proses belajar ini jelas berjalan secara dedduktif.

Dismping itu Brunner mengemukakan perlunya ada teori pembelajarran yang akan mejelaskan asas-asas untik merancang pembelajaran yang efektif di kelas. Menurut pandangan Brunner bahwa teori belajar itu bersifat deskriptif, sedangkan teori pembelajaran itu bersifat preskriktif. Misalnya teori belajar memprediksikan berapa usia maksimum seorang anak untuk belajar penjumlahan, sedangkan teori pembelajaran menguraikan bagaimana cara-cara mengajarkan penjumlahan.

3. Aliran Teori Humanistik

Teori jenis ketiga ini adalah teori humanistik. Bagi penganut teori ini, proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari keempat teori belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Dari keempat teori belajar, teori humanistik inilah yang paling abstrak, yang paling mendekati dunia filsafat daripada dunia pendidikan. Meskipun teori ini sangat menekankan pentingnya “isi” dari proses belajar, dalam kenyataan teori ini lebih banyak berbicara tentang pendidikan dan proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal. Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik kepada ide belajar dalam bentuknya yang paling ideal daripada belajar seperti apa adanya, seperti apa yang biasa kita amati dalam dunia keseharian. Wajar jika teori ini sangat bersifat elektik. Teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk “memanusiakan manusia” (mencapai aktualisasi diri dan sebagainyaa itu)dapat tercapai.

Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam pendekaatan yang diusulkan oleh Ausubel (1968) yang disebut “belajar bermakna” atau meaningful learning. Teori ini juga terwujud dalam teori Bloom dan Krathwohl dalam bentuk taksonomi Bloom yang terkenal itu. Selain itu empat pakar lain yang juga termasuk ke dalam kubu teori ini adalah Kolb, Honey dan Mumford serta Habermas, yang akan diringkaskan masing-masing pendapat dari para ahli penganut teori humanistik ini.

(3.1) Bloom dan Krathwohl

Dalam hal ini, Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa yang tercakup dalam tiga kawasan, yaitu :

1. kognitif, yang terdiri dari enam tingkatan :

v Pengetahuan (mengingat, menghafal);

v Pemahaman (menginterpretasikan)

v Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah);

v Analisis (menjabarkan suatu konsep);

v Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh);

v Evaluasi (membandingkan nilai-nilai, ide, metode dan sebagainya).

2. Psikomotor, yang terdirin dari lima tingkatan :

v peniruan (menirukan gerak);

v penggunaan (menggunakan konsep untik melakukan gerak);

v ketepatan (melakukan gerak dengan benar);

v perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar);

v naturalisasi (melakukan gerak dengan wajar).

  1. Afektif, yang terdiri dari lima tingkatan :

v Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu);

v Merespon (aktif berpartisipasi);

v Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia kepada nilai-nilai tertentu);

v Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai-nilai yang dipercayai);

v Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebaggai bagian dari pola hidup).

Taksonomi bloom ini, seperti yang kita ketahui, berhasil memberi inspirasi kepada banyak pakar lain untuk mengembangkan teorip-teori belajar dan pembelajaran. Pada tingkatan yang leb ih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu npraktisi pendidikn untuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, operasional serta dapat diukur. Dari bebrapa taksonomi belajar, mungkin taksonomi Bloom inilah yang paling populer (setidaknya di Indonesia). Slain itu, teori Bloom ini juga banyak dijadikan pedoman untuk membuat butir-butir soal ujian, bahkan oleh orang-orang yang sering mengkritik taksonomi tersebut.

(3.2) Kolb

Sementara itu, seorang ahli lain yang bernama Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat tahap, yaitu :

  1. pengalaman konkrit
  2. pengalaman aktif dan reflektif
  3. konseptualisasi
  4. eksperimentasi aktif

pada taha paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut. Diapun belum mengerti tentang bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap pertama proses belajar. Pada tahap kedua, siswa tersenut lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya. Inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflektif. Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau teori tentang sesuatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dari berbagai contoh kejadian yang meskipun nampak berbeda-beda tetapi mempunyai landasan aturan yang sama. Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum ke situasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami asal-usul sebuah rumus tetapi juga mampu memakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.

Menurut Kolb, siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambungan dan belangsung di luar kesadaran si pelajar. Denagan kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya namun dalam praktek peralihan dari satu tahap ke tahap lainnya itu seringkali terjadi begitu saja, sulit kita tentukan kapan beralihnya.

(3.3) Honey dan Mumford

Berdasarkan teori Kolb ini, Honey dan Mumford membuat penggolongan siswa. Menurut mereka ada empat macam atau tipe siswa yakni, (1) aktivis, (2) reflektor, (3) teoris dan (4) pragmatis.ciri dari siswa yang bertipe aktivis adalah mereka yang yang suka melibatkan diri pada pengalaman-pengalaman baru. Mereka cenderung berpikiran terbuka dan mudah diajak berdialog. Namun siswa semacam ini biasanya kurang skeptis terhadap sesuatu. Ini kadangkala identik denga sifat mudah percaya. Dalam proses belajar mereka menyukai metode yang mampu mendorong seseorang menemukan hal-hal baru seperti “brainstorming” atau “problem solving”. Tetapi mereka cepat merasa bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam implementasi.

Untuk siswa yang bertipe reflektor, sebaliknya cenderungg sangat berhati-hati mengambil langkah. Ddalam proses pengambilan keputusan siswa tipe ini cenderung konservatif dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik buruk suatu keputusan. Sedangakan siswa yang bertipe teoris biasanya sangat kritis, senang menganalisis dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Bagi mereka berpikir secara rasional adalah suatu yang sangat penting. Mereka biasanya juga sangat skeptis, dan tiddak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif. Dan siswa tipe pragmatis menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dalam segala hal. Teori memang penting, kata mereka namun, bila teori tidak bisa di praktekkan, untuk apa? Kebanyakan siswa dengan tipe ini tidak suka berlarut-larut dalam membahas aspek teoritis filosofis dari sesuatu. Bagi mereka sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika dipraktekkan.

(3.4) Habermas

Ahli psikologi lain adalah Habermas yang dalam pandangannya bahwa belajar sanagt dipenngaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, Habermas mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga bagian, yaitu:

  1. belajar teknis (technical learning);
  2. belajar praktis (practical learning);
  3. belajar emansipatoris (emancipatory learning).

Dalam belajar teknis siswa belajar bagaiman berinteraksi denagn alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengolah alam dengan cara mempelajjari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu. Dalam belajar praktis siswa juga belajar berinteraksi, tetapi dalam tahap ini lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dengan orang-orang disekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai nsuatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia. Tetapi pemahaman terhadap alam itu justru relevan jika berkaitan dengan kepentingan manusia.

Sedangkan dalam belajar emansipatoris siswa berusasha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) kultural dari suatu lingkungan. Bagi Habermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.

4. Aliran Sibernetik

Teori belajar jenis keempat, mungkin yang paling baru dari semua teori belajar yang dikenal, addalah teori sibernetik. Teori ini berkembang ejalan dengan perkembangan ilmu informasi.sekilas, teori ini mempunyai kesamaan dengan teori kognitif yang mementingkan proses. Proses memang penting dalam teori sibernetik namun yang lebih penting lagi adalah sistem informasi yang diproses itu.informasi inilah yang akan menentukan proses.

Asumsi lain dari teori sibernetik ini adalah bahwa tidak ada satu proses belajar pun yang ideal untuk segala situasi, yang cocok untuk semua siswa. Maka sebuah informasi mungkin akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama itu mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.

Dalam bentuknya yang lebih praktis teori ini misalnya telah dikembangkan oleh Landa (dalam pendekatan yang disebut algoritmik dan heuristik), Pask dan Scott (dengan pembagian siswa tipe menyeluruh dan tipe serial), atau pendekatan-pendekatan lain yang berorientasi pada pengolahan informasi

(4.1) Landa

Landa merupakan salah seorang ahli psikologi yang beraliran sibernetik. Menurut Landa, ada dua macam proses berpikir. Yang pertama disebut proses berpikir algoritmik, yaitu proses berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke satu target tertentu. Jenis dua adalah cara berpikir heuristik, yakni cara berpikir divergen menuju ke beberpa target sekaligus.

Proses belajar akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak dipelajari itu diketahui ciri-cirinya. Satu hal lebih tepat bila disajikan dalam urutan teratur, linier, sekuensial, satu hal lain lebih tepat bila disajikan dalam bentuk terbuka dan memberi keleluasaan siswa untuk berimajinasi dan berpikir. Misalnya agar siswa mampu memahami rumus matematika mungkin akan lebih efektif jika presentasi informasi tentang rumus ini disajikan secara algoritmik. Alasannya adalah sebuah rumus matematika biasnya mengikuti urutan tahap demi tahap yang sudah teratuir dan mengarah ke satu target tertentu. Namun untuk memahami makna suatu konsep yang luas dan banyak memiliki interpretasi (misalnya konsep “burung”), maka akan lebih baik jika proses berpikir siswa dibimbing kearah yang “menyebar” (heuristik), dengan harapan pemahaman mereka terhadap konsep itu tidak tunggal, menoton, dogmatis, dan linier.

(4.2) Pask dan Scott

Ahli lain adalah yang pemikirannya beraliran sibernetik adalah Pask dan Scott. Pendekatan serialis yang usulkan oleh Pask dan Scott itu sama dengan pendekatan algoritmik. Namun, cara berpikir menyeluruh tidak sama dengan heuristik. Cara berpikir menyeluruh adalah berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke “gambaran lengkap” sebuah sistem informasi. Ibarat melihat lukisan, bukan detil-detil yang kita amati lebih dahulu, tetapi seluruh lukisan itu sekaligus, baru sesudah itu ke bagian-bagian yang lebih kecil.

Pendektan yang berorientasi pada pengelolaan informasi menekankan beberapa hal seperti “ingatan jangka pendek”, “ingatan jangka panjang”, dan sebagainya yang berhubungan dengan apa yang terjadi dalam otak kita dalam proses pengolahan informasi. Kita lihat pengaruh aliran Neurobiologis sangat terasa di sini. Namun, menurut teori sibernetik ini, agar proses belajar berjalan seoptimal mungkin, bukan hanya cara kerja otak kita yang perlu dipahami, tetapi juga lingkungan yang mempengaruhi mekanisme itu pun perlu diketahui.